Walaupun Berbeda.. Namun Tetap Satu.. INDONESIA.

Jumat, 17 Desember 2010

Gawai (Naik Dango), Wujud Raya Syukur Masyarakat Dayak Kepada Tuhan

Masyarakat Dayak merupakan salah satu suku yang memiliki sub-suku yang paling banyak di Kalimantan Barat. Berdasarkan riset mengenai Suku Dayak oleh Institut Dayakologi, salah satu Institut (NGO) yang berkonsentrasi pada penelitian mengenai Suku Dayak di Kalimantan, dalam buku "MOZAIK DAYAK", bahwa terdapat sekitar 165 Sub-suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Tidak heran, mengapa Suku Dayak memiliki bahasa dan budaya yang beraneka ragam.

Salah satu kebudayaan Suku Dayak yang paling terkenal adalah tradisi Gawai. Dalam bahasa sub-suku Dayak yang antara lain juga disebut dengan Naik Dango (Dayak Ahe), Dange (Dayak Kayaan), & Takar Poti (Dayak Jelai). Tradisi ini adalah suatu perayaan atas berkat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan dalam waktu satu tahun masa bertani. Tradisi ini biasanya dirayakan pada bulan Mei setiap tahunnya, tergantung kepada masing-masing daerah dan suku Dayak yang merayakannya. Tradisi ini juga dirayakan di Kota Pontianak, oleh perkumpulan warga Dayak dalam organisasi DAD (Dewan Adat Dayak) dan SEKBERKESDA (Sekretariat Bersama Kebudayaan Dayak) yang berpusat di Rumah Betang, Betang Center, Jl Let. Jend. Sutoyo, Pontianak. Festival Tradisi ini biasanya berlangsung selama satu minggu, dalam Pekan Gawai Dayak. Beberapa kegiatan yang menjadi bagian dalam rangkaian Gawai Dayak ini antara lain Festival Bujang Dare Dayak, Pameran Kesenian dan Budaya Dayak, Pawai Kesenian dan Kebudayaan, dan berbagai Lomba permainan tradisional. Berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan beraneka bentuk kerajinan tradisional tersebut yang disajikan dalam even tahunan ini sungguh menjadikan suatu pesta kebudayaan yang eksotis ditengah kehidupan modernisasi masyarakat perkotaan yang sudah sangat jauh meninggalkan budaya adat tradisi


Rangkaian Festival Gawai Dayak

Cap Go Meh, Perayaan Hari 15 Bulan Satu Imlek

Cap-Go-Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam 15. sedangkan lafal dialek Hakka Cang Njiat Pan. Artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xiau Jie dalam bahasa Mandarin artinya festival malam bulan satu. Capgome mulai dirayakan di Indonesia sejak abad ke 17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Semasa dinasti Han, pada malam capgome tersebut, raja sendiri khusus keluar istana untuk turut merayakan bersama dengan rakyatnya. Setiap hari raya baik religius maupun tradisi budaya ada asal- usulnya.

Pada saat dinasti Zhou (770 - 256 SM) setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. Memasang lampion-lampion selain bermanfaat mengusir hama, kini tercipta pemandangan yang indah dimalam hari tanggal 15 bulan satu. Dan untuk menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun menurun, baik didaratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia. Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Capgomeh.

Demikian pula Cap Go Meh yang dilaksanakan masyarakat Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat. Festival yang telah menjadi Town Festival ini menyedot perhatian masyarakat luas, baik lokal maupun internasional. Festival Cap Go Meh tahun 2010 pada tangal 1 - 9 Februari, berdasarkan keterangan dari Ketua Panitia CGM 2010 Singkawang, Lio Kurniawan, telah berhasil mendatangkan turis mancanegara untuk menyaksikan Festival ini, terutama dari Australia, Singapura, Hongkong dan Taiwan.

Festival Kota ini juga telah berhasil mengintegrasikan dan mengikis perbedaan yang terdapat dalam masyarakat, dibuktikan dengan fakta bahwa festival ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat Tionghoa saja, tetapi semua elemen masyarakat di kota Singkawang. Puncak dari kerjasama dalam festival ini berbuah manis pada pemecahan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia). Kue keranjang asal Kota Singkawang, Kalimantan Barat yang memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) dengan tinggi 99 centimeter, diameter 2,88 meter, dan berat 8,735 ton akan dibagi kepada masyarakat. Rencananya, Wali Kota Singkawang Hasan Karman akan memotong kue secara simbolis sebelum dibagi kepada masyarakat, Senin (1/3/2010) pukul 09.00 WIB.

Atraksi Tatung dalam CGM Singkawang 2010 (www.singkawang.us)

Ketua Panitia Cap Go Meh Singkawang Lio Kurniawan mengatakan, kue keranjang itu akan dibagikan kepada masyarakat yang akan hadir di Stadion Kridasana. Kota Singkawang dalam perayaan Cap Go Meh ini telah mencatatkan dua rekor sekaligus yakni kue keranjang dan lampion.

Kue Keranjang Raksasa Festival CGM Singkawang 2010

Lampion Raksasa Festival CGM Singkawang 2010

Lampion asal Singkawang berhasil memecahkan rekor dengan catatan tinggi 23 meter dan diameter 32 meter. Selain dua rekor tersebut, Singkawang juga berhasrat memecahkan rekor untuk perarakan tatung terbanyak. Jumlah tatung yang didaftarkan ke panitia sebanyak 777 orang, tetapi petugas Muri baru akan mengumumkan hasil penghitungannya Minggu malam. Tatung adalah orang yang didandani menggunakan pakaian khas masing-masing komunitas dan biasanya sudah dirasuki oleh roh halus sehingga memiliki kekebalan tubuh.

Makan Saprahan. Budaya Melayu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Anda tentu sudah pernah makan beramai-ramai dalam sebuah acara. Tapi berapa banyak orang yang makan bersama Anda? Di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, ada tradisi makan bersama yang disebut saprahan yang diikuti hingga ribuan orang.

Tradisi saprahan dalam suatu upacara perkawinan khas masyarakat melayu Sambas biasanya dibuka dengan lagu-lagu ceria yang diiringi alat musik tanjidor. Saprahan berasal dari kata sap atau berjajar. Untuk saprahan ini para tamu duduk di kayu panjang yang disebut tarop. Namun duduk di tarop ada aturannya. Tamu yang boleh duduk di barisan atau sap paling atas hanya mereka yang sudah bergelar haji, hajjah, atau orang yang berilmu.

Tak hanya itu, pakaian dalam saprahan juga sudah ditentukan. Tiap tamu laki-laki wajib berbusana khas melayu telok belanga, sedangkan tamu perempuan berbaju kurung. Sementara bagi mereka yang sudah menunaikan ibadah haji diwajibkan berpakaian haji seperti saat di Tanah Suci.



Makan Saprahan (Photo by Jamadin, Tribun Pontianak)

Makanan disantap secara berkelompok yang terdiri dari enam orang. Kelompok ini disebut saprah. Biasanya menunya adalah masakan khas melayu Sambas seperti daging masak kecap, sambal udang, selada, atau ayam masak putih.

Selain di Sambas, tradisi saprahan juga dikenal di wilayah Kalbar lainnya, seperti di Pontianak, Mempawah, dan Ketapang. Namun, di tiap-tiap daerah cara penyajian serta jenis makanannya berbeda. Khusus di Pontianak, makan saprahan hanya digelar untuk perjamuan para kerabat keraton.(Suprapti/disadur dari Amin Alkadrie)

Walaupun Berbeda... Namun Tetap SATU... INDONESIA

Selamat Datang di Blog Saya. Saya adalah seorang Guru di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Pontianak, Kalimantan Barat. Saya mencoba untuk menuangkan kecintaan Saya untuk menulis melalui laman blog ini. Semoga apa yang Saya tulis mampu memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Salam Bhineka Tunggal Ika. Salam INDONESIA.